Pernikahan Dini dan Ancaman Stunting : Sebuah Mata Rantai yang Harus Diputus

PALU, iNewsPalu - Meningkatnya angka pernikahan dini di Indonesia menjadi perhatian serius karena dampaknya yang luas, salah satunya adalah meningkatnya kasus stunting. Pernikahan dini sering kali menyebabkan kehamilan di usia yang belum siap secara fisik dan mental, meningkatkan risiko komplikasi kehamilan serta kelahiran bayi dengan gizi kurang optimal. Faktor ekonomi dan rendahnya kesadaran akan nutrisi memperburuk kondisi ini, sehingga anak yang lahir berisiko mengalami stunting, yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan kecerdasan mereka.
Pernikahan dini telah lama menjadi sorotan karena dampak negatifnya terhadap kesehatan anak, terutama terkait dengan peningkatan kasus stunting. Stunting adalah kondisi di mana anak mengalami gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupannya, yang ditandai dengan tinggi badan yang berada di bawah standar usianya.
Beberapa pendapat menyoroti bahwa pernikahan di usia dini dapat meningkatkan risiko stunting pada anak. Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan pasangan muda dalam memahami dan memenuhi kebutuhan gizi selama kehamilan dan masa pertumbuhan anak. Selain itu, pernikahan dini seringkali mengakibatkan putusnya pendidikan, yang berdampak pada rendahnya pengetahuan tentang pola asuh dan gizi yang baik.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Tahun 2022, angka perkawinan anak atau pernikahan dini di Sulawesi tengah mencapai 12,65 persen, dan menduduki peringkat kelima secara nasional.Hal ini diperkuat lagi data Kanwil Kemenag Sulteng yang menyebutkan 5 daerah dengan angka perkawinan anak tertinggi yakni Urutan pertama Kabupaten Parigi Moutong, Buol, Banggai, Tojo Unauna dan Kota Palu.
Pernikahan dini sering kali berujung pada kehamilan di usia muda, yang secara medis belum siap secara fisik maupun mental. Perempuan yang hamil di bawah usia 18 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, preeklamsia, hingga kelahiran prematur. Hal ini berdampak langsung pada kualitas kesehatan bayi yang dilahirkan. Gizi yang kurang optimal, rendahnya kesadaran akan pentingnya asupan nutrisi yang cukup, serta keterbatasan ekonomi keluarga muda ini sering kali menjadi faktor pemicu stunting pada anak mereka.
Stunting, atau kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis, bukan sekadar masalah tinggi badan yang kurang, tetapi juga berdampak pada perkembangan otak anak. Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki kemampuan kognitif yang lebih rendah dan berisiko menghadapi kesulitan dalam pendidikan serta kehidupan sosial di masa depan. Dengan kata lain, stunting adalah ancaman bagi kualitas sumber daya manusia di Indonesia dalam jangka panjang.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI, 2021) prevalensi stunting di Indonesia berjumlah 5,33 juta balita stunting (24,7%). Sedangkan Tahun 2022 Angka stunting (anak dengan ukuran tinggi kurang dari standar) di Indonesia mencapai 21,6% pada 2022, sebuah angka tertinggi kedua di ASEAN setelah Timor Leste, tahun 2023 angka stunting di Indonesia pada tercatat sebesar 21,5 persen (Kemenkes RI, 2023). Data Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2022 terdapat 136.829 balita, dengan angka stunting 28,2% (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2022).
Pemerintah telah berupaya menekan angka pernikahan dini melalui berbagai regulasi dan kampanye edukasi, seperti menaikkan batas minimal usia pernikahan serta program pencegahan stunting melalui intervensi gizi bagi ibu hamil dan anak-anak. Namun, Diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh dan kolaboratif untuk memutus mata rantai ini. Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi harus lebih ditekankan di sekolah-sekolah, serta peningkatan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan agar mereka tidak melihat pernikahan dini sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan. Selain itu, peran aktif keluarga dan komunitas dalam memberikan pemahaman akan dampak negatif pernikahan dini juga sangat penting.
Meningkatnya angka pernikahan dini dan stunting adalah alarm keras bagi kita semua. Jika tidak segera ditangani dengan serius, dampaknya bisa meluas ke berbagai aspek kehidupan bangsa. Oleh karena itu, kesadaran kolektif dan aksi nyata dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa anak-anak Indonesia memiliki masa depan yang lebih sehat dan cerah.
Oleh : Asmanur, Sfandi Rusli, Isdayanty
(Penulis Adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Palu)
Editor : Jemmy Hendrik