Chico paham, ide makan siang dan susu gratis bisa dibenarkan dengan revitalisasi peternak dalam negeri. Namun masalahnya, sekalipun kebutuhan sapi sangat banyak, saat ini olahan pangan yang berasal dari sapi tetap impor.
Lebih lanjut, Chico memandang, gastronomi bakal membuat asupan gizi jadi beragam. Sesuai dengan potensi aneka pangan yang ada di masyarakat. Tinggal nanti, pemerintah membantu pangan lokal naik kelas menjadi lebih bergizi tinggi.
"Kalau kita bicara makan siang gratis, apakah nasi harus diberikan kepada orang Papua tiga kali sehari?" katanya.
"Jadi, kita jangan juga mengubah gaya hidup orang, sementara gaya hidup itu tidak berarti makanan yang dia asup itu tidak bergizi."
Chico berkata, gastronomi yang berorientasi pada pangan bergizi bakal ditopang dengan pendirian puskesmas kelas C di 50.000 desa. Nantinya berperan melawan stunting. Alasannya, sebagian besar warga ada yang tak memahami bila banyak aneka pangan lokal sesungguhnya bisa diolah untuk mencegah stunting, selain telur.
"Dia (masyarakat) sebenarnya punya bahan pangan yang bergizi di rumah. Cuma, enggak tahu mana yang harus dimasak untuk anaknya," tutur Chico.
"Ketidaktahuan itu terjadi karena di desa enggak ada tenaga kesehatan yang bisa memberikan penyuluhan tentang stunting."
Puskesmas dan tenaga kesehatan di desa, menurut Chico, sangat penting untuk memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pangan nabati dan hewani yang dapat diolah guna mencegah stunting. Selain itu, puskesmas berguna sebagai pendeteksi dini stunting di desa.
Kenyataannya, banyak kasus stunting terjadi di daerah yang sebenarnya punya sumber pangan bergizi.
"Hal itu karena enggak ada penyuluhan kesehatan," ucap Chico.
Chico memahami ide gastronomi yang berorientasi pada bahan pangan bergizi belum tercantum dalam visi-misi Ganjar-Mahfud.
"Cuma ke depan akan kita lakukan," ujar Chico. "Ini juga terkait keseluruhan, bicara ketahanan pangan."
Editor : Jemmy Hendrik