SOLO, iNewsPalu.id - Analis politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto menganggap wajar jika calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka sering absen di forum adu gagasan yang digelar berbagai institusi pendidikan dan lembaga riset. Ia menduga Gibran masih "dilarang" untuk tampil di debat-debat publik.
"Selain itu, dilihat dari kemampuan debat, memang dia tidak memiliki cukup banyak pengalaman. Tampaknya dia punya keterbatasan tentang itu sehingga dikhawatirkan oleh tim suksesnya kalau dia muncul ke permukaan dan menyampaikan sesuatu yang berisiko menurunkan kredibilitas," kata Agus kepada wartawan, Rabu (29/11). .
Pasangan Prabowo-Gibran memang paling sering bolos menghadiri debat.
Dari 17 forum dialog dan adu gagasan, pasangan itu tercatat absen hingga 10 kali. Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin sama-sama hanya absen sekali. Di beberapa forum, Prabowo juga kerap tampil solo.
Teranyar, Prabowo hadir sendirian dalam dialog publik bertakuk "Muhammadiyah Bersama Calon Pemimpin Bangsa yang digelar di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS), Jawa Timur, Jumat (24/11). Batang hidung Gibran tak kelihatan.
Absennya Gibran dalam dialog publik di UMS, menurut Agus, merupakan indikasi bahwa putra sulung Presiden Joko Widodo itu tidak siap "dikuliti" sebagai cawapres. Ia melihat Gibran belum punya pengetahuan mumpuni untuk memahami isu-isu kenegaraan yang jauh lebih rumit ketimbang persoalan-persoalan perkotaan.
"Interaksi dia terhadap masalah-masalah nasional dan kemudian solusi yang mau mereka berikan dan ide-ide yang mau dia sampaikan itu memang sangat terbatas. Keterbatasan itu coba dihindari supaya tidak ketahuan dan tidak terlihat di publik. Kalau dia muncul dengan kelemahan- kelemahan, itu akan menurunkan reputasi dia sebagai pemimpin," ucap Agus.
Ke depan, Agus menduga Gibran bakal lebih banyak absen dalam debat-debat publik atau adu gagasan terkait pilpres. Apalagi, Gibran harus berhadapan dengan cawapres Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar. Di antara ketiga cawapres, Gibran paling minim pengalaman di birokrasi pemerintahan.
"Salah satu yang membuat ketakutan dia adalah karena keterbatasan pengalaman dan gagasan termasuk juga keterbatasan dalam mengartikulasikannya," kata Agus.
Lantas bagaimana dengan klaim kesuksesan Gibran memoles Surakarta menjadi lebih metropolitan? Soal itu, Agus berpendapat tidak semua kemajuan di Surakarta merupakan hasil kerja keras Gibran. Kebanyakan proyek pembangunan di Surakarta digarap pemerintah pusat.
"Ketika dia tiba-tiba dia ke pentas nasional dengan kapasitas yang belum berpengalaman, itu bakal mengganggu elektabilitas. Sebetulnya Wali Kota Solo itu bukan Gibran. Dia hanya simbol, tapi yang kerja adalah pemerintah pusat. Banyak proyek-proyek pemerintah pusat di Solo untuk menaikan Gibran supaya terlihat pemimpin yang responsif," kata Agus.
Prabowo, kata Agus, juga setali tiga uang. Dalam sejumlah debat publik, Agus menilai mantan Danjen Kopassus itu lebih sering menampilkan gimmick politik ketimbang gagasan-gagasan konkret membangun negara.
"Mirip sekali dengan pemenangan Bong-bong Marcos di Filipina itu yang dilakukan untuk menarik pemilih pemula. Politik riang gembira itu lebih ditonjolkan agar tidak fokus pada gagasan dan visi-misi," kata Agus.
Bong-bong atau Ferdinand Romualdez Marcos ialah putra dari mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos. Berkuasa selama 21 tahun, Ferdinand menjalankan pemeritahan Filipina secara otoriter. Kemenangan Bong-bong pada pemilu diwarnai kampanye disinformasi masif di media sosial.
Editor : Jemmy Hendrik
Artikel Terkait