POSO, iNewsPalu.id - Meski ganti rugi sudah terbayarkan atas terendamnya persawahan masyarakat yang ada di Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah seakan belum berakhir.
Permintaan ganti rugi jangka panjang yang di targetkan selama 10 tahun masih menunggu pihak PT. Poso Energi, kini masyarakat terancam akan kehilangan lahannya oleh aturan baru dikeluarkan oleh pemerintah.
Kini warga menghuni dipinggiran danau Poso Tepatnya Desa Meko diperhadapkan kembali dengan adanya penetapan cagar alam dan rencana pemerintah menentukan sempadan danau Poso 100 meter dari air pasang.
Jika keduanya di tetapkan oleh pemerintah maka akan terjadi kemiskinan dan desa-desa berada disekitar danau Poso bakal hilang.
Kekhawatiran dan kegelisahan itu disampaikan salahsatu kepala desa dipinggiran Danau Poso yakni kepala Desa Meko. Kepala Desa Meko I Gede Sukaartana mengatakan , Desa Meko memiliki luas sekitar 98 Kilometer persegi, dengan luas lahan pertanian dan permukiman warga 960 hektare (Ha) ini dihuni berbagai ragam suku dan agama yang saling berdampingan.
Desa Meko yang 95 persen penduduknya sebagai petani, tergolong ekonomi masyarakat menengah kebawah. Sebanyak 450 petani masuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Artinya petani yang layak mendapat bantuan sosial.
" Masalah sosial interaksi sesama warga suku dan agama satusama lainnya tidak bermasalah," kata I Gede saat ditemui di rumahnya Desa Meko oleh sejumlah Jurnalis.
Ia mengatakan, menjadi masalah sektor pertanian. Ia tidak mengetahui persis kapan penentuan Desa Meko di tetapkan sebagai cagar alam .
" Tiba -tiba pagar patok cagar alam sudah ada, kami masyarakat tidak tahu, 329 Ha kebun warga atau 200 KK mengolah kebun tersebut diklaim menjadi cagar alam," ungkap I Gede.
Jika luasan 329 Ha diberlakukan kedepan tidak boleh dijamah petani, maka sekitar 5 atau 6 tahun kedepan terjadi proses pemiskinan di Desanya akan terjadi tak ada lagi yang bisa mengantungkan hidupnya di sektor pertanian dan perkebunan.
" Sebab tanah lokasi kami tidak ada perluasan lagi dan penduduk semakin bertambah. Kami telah mengikuti program tanah obyek reforma agraria (TORA) untuk pembebasan lahan menjadi perkebunan warga tapi tidak berhasil. Hanya sebatas janji," ujarnya.
Dari data angka kelahiran Desa Meko pertahun 50- 70 kelahiran, dengan sendirinya lima tahun mendatang sudah cukup banyak penduduk desa Meko bakal membutuhkan lahan pertanian atau perkebunan.
Ia menuturkan, persoalan lain tak kalah pelik dari danau Poso ada ancang-ancang lagi pemerintah menetapkan sempadan danau Poso, walaupun belum ada keputusan sampai hari ini.
" Titik sempadannya belum ada, yang jelas sempadan danau Poso itu ada yaitu 100 meter dari air pasang. Sedangkan air pasang diwilayahnya sangat dekat dengan permukiman warga, bila diberlakukan desa-desa pinggiran danau akan habis tak ada lagi warga yang mengagungkan hidup diloaksi tersebut,".
Bila dua hal tersebut diberlakukan maka terjadi peningkatan angka kemiskinan. Sedang pemerintah desa digenjot peningkatan ekonomi masyarakat.
Persoalan lainnya meski petani berhasil apapun komoditinya beras atau durian perekonomian masih jadi persoalan ketika panen harga anjlok.
Hal terpenting lagi, menurutnya, bagaimana pemerintah turun memberikan edukasi kepada masyarakat metode pertanian baik menggunakan lahan sempit tapi menghasilkan hasil maksimal itu yang mereka tidak dapatkan.
" Kami harus mencari lembaga independen memberikan edukasi pertanian atau mendampingi seperti cara membuat pupuk , bercocok tanam yang murah dan lain sebagainya," katanya.
Lebih lanjut dia katakan, masuknya Poso energi sangat berpengaruh sebagian perekonomian masyarakat sekitar danau Poso , khususnya masyarakat Meko ada sekitar 96 hektare sawahnya terendam dan tidak bisa diolah.
Bila mengikuti siklus alam bulan 3 sampai bulan 6 tidak bisa menanam sebab air danau pasang. Bulan pengolah sawah bulan 6 sampai bulan 10, satu tahun dua kali panen. Adanya proyek bendungan PLTA, air tidak turun meskipun tidak musik hujan . Hal ini sudah diadukan baik ke pemerintah daerah , provinsi dan DPR tapi diabaikan atau diperhatikan .
Sementara petani di Meko ketika mengolah sawahnya harus meminjam modal . Diganti ketika panen. Dan ketika sawah mereka terendam mereka tidak punya hasil lagi. Untuk membayar hutang-hutang mereka.
Masyarakat berusaha membuat surat penangguhan utang, bukan di hapuskan hutang mereka tapi diberi perpanjangan waktu jatuh temponya, guna meringankan beban mereka sebab sudah kehilangan mata pencaharian, " katanya.
Akibat dari terendamnya sawah petani , Masyarakat sempat demo, sebagai aksi protes terhadap kebijakan pemerintah dianggap tidak berpihak.
Selain itu mereka pernah menempuh jalur hukum menggugat pemerintah , DPR, perusahanan, sampai menemui Gubernur , upaya itupun gagal.
Sehingga pilihan terakhir kata dia, petani melakukan negosiasi dengan perusahaan , karena situasi sangat kritis maka aset petani akan disita sebab jadi jaminan dilembaga keuangan tempat mereka meminjam.
Sehingga masyarakat dan perusahaan sepakat penggantiannya 10 killogram perare , 15 killogram perare dan 15 kilogran perare , terhitung mulai 2019-2021 yang diterima. Sebab sudah semua petani pinggiran danau Poso menerima kompensasi yang sama.
Semua dana kompensasi itu sudah terealisasi bagi 71 KK yang terdampak, diterima di rekening masing- masing nilai 1 hektare Rp34 juta.
Untuk sekarang kompensasi tahap I ganti rugi telah dibayarkan oleh PT.Poso Energi. Dan sekarang terhitung 2022 proses jangka panjang negosiasi masih berlangsung
" Hasil kesepakatan bersama petani, kami tidak lagi meminta ganti rugi perpanen, usulan para petani meminta dibayarkan sekali dalam jangka waktu 5 atau 10 tahun,"ucapnya
Dari pertimbanganya ketika kompensasi mereka dibayarkan 10 tahun sekali bayar, uang tersebut bisa berguna apakah membeli lahan lain atau buka usaha baru untuk menyambung hidup keluarganya.
I Gede sebagai selaku pemerintah desa sangat prihatin , kita mau cari lahan dihutan sudah terbentur dengan cagar alam yang di tetapkan oleh pemerintah.
Bahkan dirinya sudah mengancam bila 329 ha tidak dibebaskan saya akan rebut paksa, pernyataan itu ia sampaikan ke pemerintah daerah.
Penetapan cagar alam ini baru diketahui saat mereka mengajukan cetak sawah baru, setelah sepakat dan diukur, ketika alat berat datang untuk menggusur, pihak kehutanan datang dan melarang untuk menggusurnya. Dan menyampaikan ini sudah cagar alam, padahal didalamnya ada coklat dan tanaman palawija masyarakat.
I Gede juga menegaskan ke masyarakat selama dirinya menjabat Kepala Desa tidak ada jual beli lahan ke perusahaan dan bila itu ada dirinya tidak menandatanganinya.
Editor : Jemmy Hendrik
Artikel Terkait