DONGGALA, iNewsPalu.id - Pagi baru saja merekah di Donggala. Kabut tipis turun perlahan dari perbukitan, seolah mencium permukaan laut yang tenang. Di halaman Rumah Sakit Kabelota, suasana terasa berbeda. Puluhan lansia duduk berbaris rapi di kursi-kursi plastik biru.
Beberapa mengenakan kacamata hitam, sementara sebagian lainnya menunduk dengan kepala berbalut kain putih. Di antara mereka, ada yang digandeng anak cucu, namun ada pula yang datang sendiri dengan langkah tertatih. Aroma antiseptik di udara bercampur dengan lamat-lamat doa yang meluncur dari bibir mereka, merapal harapan di tengah penantian.
Bagi mereka, hari itu cahaya bukan sekadar fenomena alam. Cahaya adalah harapan yang selama bertahun-tahun terhalang kabut katarak, membuat dunia mereka redup dan terbatas. Pagi ini, mereka menunggu giliran untuk menjemput kesempatan melihat dunia kembali melalui Operasi Katarak Gratis bagi Lansia.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia, bekerja sama dengan Persatuan Dokter Mata Indonesia (Perdami), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Sentra Nipotowe Palu. Ini adalah wujud nyata dari kebijakan nasional Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI), sebuah upaya negara untuk memberdayakan kembali para lansia agar dapat hidup bermartabat.
Di dalam ruang operasi yang steril, dr. Retno Unggul Hapsari, perwakilan Perdami Pusat Jakarta, tengah memeriksa alat bedah dengan teliti. Lebih dari dua dekade dr. Retno terjun dalam operasi katarak massal di berbagai pelosok negeri, namun ia mengaku perasaan haru itu selalu sama setiap kali menyaksikan perban pasien dibuka.
Menurutnya, Indonesia masih memiliki backlog katarak yang tinggi, terutama di daerah-daerah yang sulit terjangkau. Baginya, operasi ini bukan sekadar tindakan medis, melainkan upaya mengembalikan kehidupan seseorang agar tidak merasa sendirian dalam kegelapan.
Operasi di Donggala kali ini melibatkan lebih dari 60 pasien lansia. Selama dua hari penuh, tim gabungan dari Jakarta dan Sulawesi Tengah bekerja tanpa lelah. Mereka menerapkan metode modern small incision, teknik sayatan kecil tanpa jahitan yang memungkinkan proses cepat dan pemulihan singkat. Meski begitu, dampaknya bagi para pasien akan terasa seumur hidup.
Sementara itu di luar ruang tindakan, Dwi Agung Gardianto, perawat dari Sentra Nipotowe Palu, dengan sabar menuntun seorang nenek menuju tempat istirahat. Ia bercerita bahwa sebagian besar pasien datang dengan rasa takut karena belum pernah berobat ke rumah sakit.
Tugas tim medis bukan hanya mengoperasi, tetapi juga meyakinkan dan menenangkan hati para lansia ini. Agung kerap menyaksikan momen emosional saat pasien memeluk petugas medis sambil menangis bahagia ketika penglihatan mereka kembali.
Dari total 177 calon pasien yang mendaftar, tim melakukan seleksi ketat hingga terpilih 66 lansia yang memenuhi syarat medis dan ekonomi. Yulianingsih, penanggung jawab lapangan, menjelaskan bahwa proses verifikasi tidak hanya melihat data, tetapi juga kesiapan mental.
Ia masih ingat betul bagaimana harus membujuk seorang lansia yang panik dan ingin pulang sesaat sebelum operasi. Bagi Yulianingsih dan rekan-rekannya, peran mereka melampaui tugas administratif; mereka harus menjadi motivator, pendengar, bahkan keluarga bagi para lansia yang seringkali datang sebatang kara.
Kepala Sentra Nipotowe Palu, dr. Diah Rini, memantau langsung jalannya kegiatan. Ia menegaskan bahwa Kabupaten Donggala dipilih kembali karena tingginya angka penderita katarak lansia di wilayah tersebut.
Diah memandang operasi ini sebagai rehabilitasi sosial yang utuh. Harapannya sederhana namun mendalam, yaitu agar para lansia tidak hanya bisa melihat, tetapi juga kembali berdaya, bisa bekerja, bersosialisasi, atau sekadar mengajar mengaji di kampung halaman.
Kehadiran pemerintah pusat yang bersinergi dengan pemerintah daerah, termasuk kunjungan langsung Bupati Donggala Vera Elena Laruni, menjadi suntikan moral tersendiri bagi semua pihak yang terlibat.
Di balik layar kesuksesan acara ini, ada sosok pahlawan tanpa tanda jasa bernama Mardiana. Pegawai Sekretariat DPRD Donggala ini bukanlah panitia resmi, namun ia menjadi penyelamat bagi dua lansia tetangganya, Arlina dan Cumi. Mardiana-lah yang membujuk, mendaftarkan, hingga membonceng kedua nenek itu menembus panas dan hujan menuju rumah sakit. Ia melakukan semua itu tanpa bayaran, semata-mata karena kepedulian terhadap tetangganya yang hidup sebatang kara.
Kisah Arlina, wanita 61 tahun yang sering tersesat di hutan saat mencari kayu bakar karena matanya rabun, kini berubah menjadi cerita penuh syukur. Ia tak perlu lagi meraba-raba dunia dalam bayang-bayang. Kayu bakar yang ia kumpulkan kini bisa digunakan untuk memasak air yang ia jual demi menyambung hidup. Begitu pula dengan Cumi, penenun sarung Donggala berusia 70 tahun yang sempat berhenti berkarya karena buta. Kini, dengan mata yang mulai terang, Cumi bertekad untuk kembali menenun sarung-sarung indahnya.
Ada juga Yunita, seorang guru PAUD yang mendapatkan informasi operasi gratis ini melalui media sosial Facebook. Baginya, operasi ini adalah mukjizat yang memungkinkannya kembali melihat wajah murid-muridnya dengan jelas. Yunita berharap informasi tentang program mulia ini bisa lebih luas menjangkau warga di pelosok yang mungkin belum tahu caranya mendaftar.
Menjelang sore, saat matahari mulai condong ke barat dan menyinari laut Donggala dengan warna oranye keemasan, halaman rumah sakit mulai sepi. Tim medis membereskan peralatan dengan wajah lelah namun puas.
Bagi mereka, ini bukanlah sekadar proyek, melainkan panggilan kemanusiaan. Para lansia pun beranjak pulang dengan langkah yang lebih pasti. Mereka tidak hanya membawa pulang penglihatan yang pulih, tetapi juga keyakinan baru bahwa negara hadir untuk memulihkan martabat mereka, membawa cahaya harapan yang kembali menyapa mata dan jiwa mereka.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait
